In Thought

Wahai Golongan Mayoritas


Pagi ini seorang teman dalam group menyebarkan sebuah berita tentang golongan agama tertentu yang diklaim sesat olehnya. Saya tersenyum, kecut. Dalam group yang homogen, hal seperti ini sudah biasa terjadi. Tidak ada niatan sedikit pun untuk memberi respon, tapi kali ini ada yang mengubah senyum kecut saya menjadi lebih manis. Seorang anggota group lain memberi komentar.

"Subtansinya apa, Wahai golongan mayoritas?"

Singkat saja, tapi saya sudah merasa beliau memposisikan dirinya sebagai kaum minoritas entah siapapun itu. Mungkin beliau sama seperti saya yang sudah jengah pada orang-orang sok tahu atas kabar burung yang dianggap ilmu. 

Di negara ini, kebenaran (seolah) ada di tangan mayoritas, sisanya adalah orang yang menyimpang atau tidak kasatmata sekalian. Golongan minoritas tidak mendapatkan haknya dengan baik. Mereka bahkan merasa perlu beribadah sembunyi-sembunyi, itu pun tidak jarang diamankan 'polisi' agama dengan cara yang sama sekali tidak mencerminkan nilai agama mana pun. Dalihnya, penindasan penyimpangan berhadiah pahala, sementara definisi simpang mereka yang menentukan.

Keadilan pun dikalahkan kuasa dan jumlah suara. 

Pertanyaannya, memang penghuni surga lebih banyak dari penghuni neraka?

Payahnya lagi, penyebaran pesan secara viral, seperti mainan baru untuk menyudutkan golongan minoritas. Pun halnya dengan media sosial yang beralih fungsi dari media komunikasi, kini jadi media penyebaran informasi yang keabsahannya tidak jelas. Semoga hanya yang menyebarkan saja yang lupa memakai akalnya untuk melakukan validasi, dan yang membaca tidak ikut-ikutan menelan bulat-bulat tanpa sempat dicerna alat pikir. Kaum terpelajar tentu tidak akan membiarkan pikirannya disetir oleh informasi yang ditumpangi kepentingan-kepentingan pihak tertentu.

Perihal mayoritas dan minoritas tidak hanya pada persoalan agama, ada banyak hal yang menjadi dikotomi pada situasi tertentu. Jika logika kita belum bisa menyetujui (bahkan sekedar memaklumi) paling tidak jangan semena-mena mengadili. Norma yang ada membantu kita menjadi manusia dan manusia tidak akan meniadakan identitas orang lain dengan cara yang tidak manusiawi.

Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya. (Pramoedya Ananta Toer)

Cara membaca peta bisa membuat segala keputusan melangkah jauh berbeda. Kita baru bisa memastikan tidak tersasar ketika kita telah sampai. Pastikan saja peta dan cara kita sudah tepat.

Note : 

Barangkali terlepas dari segala pemikiran dan dampak negatif pengosongan kolom agama di KTP. Seorang manusia yang diberi mandat menjadi presiden itu hanya ingin mencoba memanusiakan manusia lainnya, yang selama ini menyamar identitas mayoritas demi pengakuan dan rasa aman. 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Tidak Ada Hujan

Mata kami bertemu. Sesaat aku ingin menantang bola mata yang bersembunyi di balik lensa itu. Aku ingin tahu, apakah dia akan meringkuk atau justru menerima tantanganku. Menenggelamkanku lagi disana, di kedalaman matanya yang bening sekaligus berjelaga. Aku tidak yakin mana yang lebih membuatku nelangsa, jelaga yang membuat buta atau bening yang demikian lihai membaca, menelanjangi pikiranku yang ramai sekaligus sepi, seperti tersasar di tengah pasar.

Faktanya, hanya beberapa detik sampai mataku beralih. Mataku memandang daun-daun kering yang berjatuhan, kursi panjang halte yang sandarannya sudah berkarat, sampah plastik yang terbawa angin, atau apa saja selain matanya.

“Hai.”

Suara yang digiring senyuman itu memecah hening diantara kami. Tapi mulutku tetap terkunci. Bilangan tahun yang berlalu memang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah kusiapkan dulu, tapi waktu membuat semuanya kehilangan makna. Aku tidak lagi menagih jawaban, bahkan untuk sekedar penasaran telah tunai tanpa dibayar.

Dia tidak lagi memakai sandal gunung dan kaus lengan pendek. Kemapanan tergambar pada pakaian dan atribut yang ia kenakan. Lihatlah, jam tangan yang dulu kami beli di pusat perbelanjaan tidak lagi melingkari tangannya, digantikan dengan brand yang nominalnya melebihi setengah gajiku sebulan. Aroma segar sabun antiseptik pun terganti aroma parfum yang tidak kukenali. Perlahan kumasukan tanganku dalam saku, menyembunyikan gelang kayu yang melingkarinya, yang kami beli bersama di Yogyakarta dulu.

Kita memang tidak bisa dengan mudah melupakan apa yang sudah lama terpatri dalam kepala, tapi kita bisa menimpanya dengan kenangan yang lebih segar. Sayangnya, ingatan yang buruk tetap ada sebagai pengingat. Seperti saat dia membawa-bawa nama Tuhan hanya agar aku tidak menahan dan berhenti memintanya mempertimbangkan. Dia benar. Selamanya biji rosario miliknya tidak bisa kugunakan untuk bertasbih. Kita hanya bisa bersitatap tanpa bisa saling berdekap.

“Hai.”

Meski sedikit tercekat, angin tetap menjalarkan suaraku. Angin pula sepertinya yang meringankan langkahku. Lihatlah, kami telah beranjak dewasa. Tidak lagi ada penolakan atau perjuangan yang berakhir sia-sia. Hanya lima menit, selanjutnya kami saling melewati, seperti sepasang asing tanpa kepentingan untuk menguarkan kenangan. Kami melangkah pada arah yang bersebrangan.

Tidak ada hujan. Musim kemarau belum juga berakhir. Mari kita percepat langkah kaki kita karena tidak ada yang akan menyamarkan air mata.

River and sea, picking up salt
Through the air as a fluffy cloud falling down as rain.
(Boat Behind-Kings Of Convenience)



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Thought

[REVIEW] : #GIRLBOSS: Failure is Your Invention


I really can’t afford not to say this: #GIRLBOSS is a great book that you have to experience by yourself. This book is not only narrates Shopia Amoruso's from-nothing-to-something-experienced but also takes you to build your own too.

Shopia was a girl who hate school and sent to a psychiatrist who diagnoses her with depression and ADD. She states school was just not her thing. When she was a teenager, she did shoplifting to pay her bills, did some odd jobs, and after went through for seven years hard work, she ends up being the CEO of a $100-million-plus business with fifty-thousand-square-foot-office in Los Angels, a distribution and fulfillment center in Kentucky, and three hundred and fifty employees. 
“It’s unfortunate that school is so often regarded as a one-size-fits-all kind of deal. And if it doesn’t fit, you’re treated as if there is something wrong with you; so it is you, not the system, which is failing.” (page 71)
There are (at least) five lessons I learned from this book:

1. Be an alien is better than to lose yourself.
The common mistake is the assumption that people have to be like everyone else instead of being an alien. Though everything went smoothly just a matter of time until you realize that you start to lose yourself.
“When you don’t dress like everyone else, you don’t have to think like everyone else." Iris Apfel (page 216)
2. Life serves who take a risk
For you who plan a lot but still afraid to take an action, this :
“We’re all going to die, it’s a question of when and how- so be brave!” Alexy Wasser”(page 98)
and this :
“My advice to #GirlBosses is to get exicited about the mistake you’ll make.” Leandre Medine (page 215)
3. Dream Big and Work Hard
Lucky is when you arrive just a moment before the bus left. Lucky is not something you can rely on to get success. Dream takes hard work to become real.
“If something’s not working out, but you keep hammering at it in the exact same way, go after something else for a while. That’s not giving up, that’s just letting the universe have its way”(Page 125)
4. ‘Treat your mind like your money; don’t waste it’
When was the last time you thought about people’s opinion?  Last week? Yesterday? Oh crap! Just a minute ago. If you are just like me,  Note this:
“No matter where you are in life, you’ll save a lot of time by not worrying too much about what other people think about you. The earlier in your life that you can learn that, the easier the rest of it will be. You is who is you, so get used to it.”(page 141)

There will be people who underestimate what you do, tell what you should do, but the good news is you don’t need to listen all the voices.

5. Be Confident
Be brave, be confident to be your self and work hard but keep having fun with all those process.
“Confidence is more attractive than anything you could put on your body”. 
and the conclusion is :
“Life isn’t about finding yourself. Life is about creating yourself.”- George Benard Show (page 138)  
 It's only you, who have the privilege to create your own life with your own style. So be brave and be #GIRLBOSS.





Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In Fiction

Percakapan di Ruang Tunggu

“Menurutmu lebih baik mana, menjadi teman selamanya atau pernah begitu dekat tapi kemudian menjadi saling asing?”

Benar kata orang, cuaca bisa mempengaruhi perasaan seseorang. Sepertinya gerimis yang membekas di ujung celanamu membawa melankolis pada kepalamu. Kita sama-sama tahu kemana arah pertanyaanmu, Jadi kubiarkan pertanyaanmu mengambang di udara yang dipenuhi aroma antiseptik. Kepalaku bahkan tidak repot-repot mengalihkan pandangan dari lukisan alam di depan kita. Aku ingin pura-pura tidak mendengar, tapi mulutku justru terkekeh. Menertawakan pertanyaan retorismu. Menertawakan diriku sendiri.

 “Heh, aku serius.”

Kamu menoleh padaku, memacingku untuk membalas pandangan. Baiklah, kamu menantangku rupanya.

“Kamu mau jawaban panjang atau pendek?”

“Sepertinya kita masih punya cukup waktu untuk jawaban panjang”. Kamu berpura-pura melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganmu.

“Tergantung.”

Alismu mengeryit, aku menghela napas untuk mendramatisasi ketidakpahamanmu itu. Ingin rasanya kuucapkan terima kasih pada siapapun yang meletakan lukisan pada dinding di hadapan kita, Memberiku alasan untuk tidak selalu memandangmu.

“Apakah ada kepentingan lain selain hanya menjadi teman sehingga menimbulkan pilihan seperti itu?”

Kali ini gantian kamu yang menghela napas berpura-pura mengejek pertanyaanku. Mengejek perasaanku.

“Anggaplah ada.”

Sejak kapan kamu mulai berani seperti itu? Aku menghela napas, berlagak akan menjelaskan sesuatu yang penting. Padahal mungkin percakapan ini akan segera menguap sehabis kita tinggalkan kursi panjang yang menahan kita kini.

“Menurutku menjadi teman selamanya, adalah pilihan teraman. Menyembunyikan perasaan dengan hati-hati dan menyimpan harap sekaligus merasa tahu diri asalkan tetap bisa berinteraksi. Eh yang benar tahu diri atau tidak percaya diri yah?”

Kamu mengangkat bahu lalu memintaku melanjutkan.

“Yah terkadang, bisa berinteraksi sudah cukup membuat senang. Namun kadarnya selalu sama. Jika digambarkan dengan grafik, mungkin bermain aman begini hanya akan membuat garis lurus. Konstan. Kesenangan yang konstan lama-lama akan menjadi membosankan (kalau tidak ingin dibilang menyakitkan, garis lurus tanda ketiadaan bukan?) meskipun kabar baiknya hubungan tetap terjalin dengan aman.”

“bagaimana dengan pilihan kedua?”

Kali ini bukan hanya kepalamu, tubuhmu sudah berhadapan denganku. Aku tidak berminat merubah posisi sedikitpun. Memandangmu hanya akan mengaburkan kata-kata dalam kepalaku. Aku melanjutkan sambil tetap menatap lurus ke depan.

“Sebetulnya memberikan diri kesempatan untuk menjadi begitu dekat berisiko lebih tinggi. Jatuh cinta memang tidak pernah membuat bosan. Grafiknya mungkin akan fluktuatif, tapi pada saat tertentu ketika jatah waktu kita telah habis, hubungan pertemanan berkemungkinan akan ikut habis. Berakhir menjadi dua orang yang saling asing. Bukankah imun kita menolak sesuatu yang asing?” 
Meskipun pada kadar tertentu tubuh kita akan kebas juga tapi pasti efeknya tidak lagi baik. Jika sudah begini pada akhirnya menjadi saling asing lebih baik, jangan dilebihkan kadarnya, agar tidak kebas. 

Kamu berdeham setelah hening beberapa menit. Tidak lagi menatapku. Tali sepatumu yang terlepas seolah menarik perhatian matamu, tapi tanganmu tetap tidak bergerak membenarkan.

“Ndi, Seingatku, kamu orang yang suka mengambil risiko.”

Aku mulai sesak dengan aroma asam borat yang entah mengapa terasa makin pekat. Tapi untunglah suara langkah para suster yang berlalu lalang membuat sunyi sementara ini tidak terlalu menyiksa. Kamu tahu aku tidak berniat membalas pernyataanmu. Kamu membaca keraguan (dan ketakutan) pada mataku yang mulai berair.

“Pilihan kedua bisa saja membuatmu kecewa karena kehilangan seorang teman, tapi kabar baiknya, kamu bisa melangkah maju, bermil-mil lebih jauh. Kamu jadi tahu satu hal, bahwa memang bukan dialah orangnya”.

Belum sempat kutanggapi omonganmu, Linggar datang dengan perban di kepala. Giginya yang tidak rata mengintip saat meringis berusaha tertawa sekaligus menahan sakit. Aku sadar kamu sedang memergokiku tersenyum lega.

Pagi tadi, dengan panik aku menghubungimu begitu mendengar kabar Linggar  terjatuh dari motor hingga kepalanya terbentur trotoar. Rupanya suara isakan yang begitu pelan pun turut menjelma gelombang radio hingga sampai pada telingamu walau ratusan meter jarak kita. Aku bahkan dapat mendengar suara tanganmu menyambar kunci yang biasa kamu gantungkan pada paku berkarat di samping pintu. Aku tahu kamu bergegas mengantarkanku walau gerimis menyambar bajumu. Aku tahu kamu merasakan kecemasanku. Sejujurnya aku tetap cemas kamu akan tahu. Walau mungkin, kamu sudah tahu.

“Indi, ambilah risikonya dan buktikan jatah waktu kalian tidak akan habis.”

Kamu memaksakan tersenyum. Linggar yang belum sempat berkata apa-apa memandang kita bingung. Aku tidak tahu harus menjawabmu atau menjawab kerut heran di kening teman dekatku itu. Tapi melihatmu tersenyum, aku tahu, kamu sudah melepaskanku.

No matter how I think we grow
You always seem to let me know 
It ain't workin'
Lauren Hill's "Ex-Factor"



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments