pada malam-malam kesekian
memeluk kemarin yang menyisakan halu si na si
halu si na si tidak mengadakan apa-apa selain
pilu yang kian jadi.
pelukanmu pada kemarin ;erat-hangat-retak-remuk-berjatuhan
menjadi denting denting pada ubin yang dingin
pada ubin yang kian dingin
matamu berkaca-kaca
pada ubin yang terlalu kusam untuk berkaca
matamu menjadi dingin
pada kemarin yang terlepas dari pelukanmu
kamu memeluk angin sampai kembung
pada kemarin yang tidak datang lagi
kamu menyusul
berjalan mundur.
Dia berangkat nanti malam. Dia memberitahukannya padaku selintas melalui telepon, bukan berpamitan, hanya memberitahukan secara selintas. Maka aku pun tidak merasa perlu untuk memberikan salam perpisahan atau pelepasan. Ucapan sampai bertemu lagi yang akan menjadi klise untuk kita berdua tidak kuizinkan keluar dari mulutku, melainkan hanya 'hm..oke' untuk merespon kabar kepergiannya nanti malam.
Mungkin sama seperti sepuluh tahun yang lalu saat kita mengenal tanpa prosesi perkenalan yang biasa.
Kita berdua sama-sama tidak menyukai basa-basi, jadi saat dia menyikut tanganku tidak sengaja dan aku membalasnya dengan melemparinya kerikil yang kutemukan di kakiku, itulah cara kita saling berkenalan.
Mungkin dulu kita telah banyak sekali tertawa bersama, itulah mengapa di dunia yang adil ini, kini saatnya kita untuk sama-sama menangis (bukan menangis bersama).
Kita menangisi banyak hal, hingga hal-hal yang dulu kita tertawakan.
Seperti saat dulu kita sama-sama menertawakan gadis putih pindahan Bandung yang terjatuh saat rokknya tersangkut sepedah, kini dia menangisi gadis putih itu yang menikah dengan teman sekelas, ternyata dia menyukainya sejak pertama kali menertawakannya. Dia menangisinya, dan aku ikut menangis bersamanya.
Kita menangisi banyak hal, hingga hal-hal yang dulu kita tertawakan.
Seperti saat dulu kita sama-sama menertawakan gadis putih pindahan Bandung yang terjatuh saat rokknya tersangkut sepedah, kini dia menangisi gadis putih itu yang menikah dengan teman sekelas, ternyata dia menyukainya sejak pertama kali menertawakannya. Dia menangisinya, dan aku ikut menangis bersamanya.
kamu yang mengayuh sepedahnya, aku yang memegangi ujung kausmu sambil bernyanyi. Di sela laguku aku sempat bertanya
'lalu kita tidur dimana ?'
di sela kayuhan dan isakanmu, kamu sempat menjawab
'mungkin di masjid'
Aku meneruskan laguku, tanganku tetap memegangi ujung kausmu, kayuhanmu memelan. Apakah kamu sudah letih atau karna sedang berduka, aku tidak yakin. Tapi dari arah kayuhan sepedahmu yang tidak menentu, sepertinya kamu tidak tahu akan membawaku kemana, membawa kita pada siapa.
kemarin pagi, saat berjalan-jalan ada bapak dengan seragam abri yang melintas dari depan
update:
kalau sedang memikirkan keuntungan dari ide yg baru sj terlintas, wanginya mungkin seperti jeruk lemon yang digantung dikipas angin : segaaaarr! hahaha.
menyapa sebentar, katanya 'senyum terus dek dari ujung jalan'
kalau yang ada di kepala ini beraroma
pastilah pikiran yang membuatku tersenyum wangi sekali
mungkin seperti wangi roti yang baru keluar dari pemanggang
hangat dan manis
kemarin siang saat mendengar teman hendak melamar pacarnya
turut tertawa kegirangan, euforianya menyebar.
mungkin seperti wangi mawar yang terbawa angin pagi-pagi
cantik yang mencolok
sampai nanti
semoga tidak ada wangi yang membuat kita harus menahan napas.
Selamat tidur tuan epilog.
Letakmu masih sama disana tidak bergeser sesentipun.
malam ini bahkan kamu patenkan posisimu, baiklah tidak akan saya gubris tuan epilog yang baik. Karena saya tahu harimu sedang berat, jemarimu bahkan gemetar saat mengepal.
Kamu pun,tuan, kekurangan banyak oksigen, saya tahu wajahmu yang kurang darah. Darahmu lupa mengantarkan bijih-bijih O2 hingga kamu mencarinya melalui mulutmu yang terbuka, padahal tuan, udara luar sedang kotor-kotornya, dan rongga mulutmu tidak ada penyaringnya.
Dan tuan, apakah matahari sedang begitu silau bagimu? itukah alasan tuan pejamkan mata dari hitungan sebelum satu hingga setelah seribu yang saya lafalkan dalam hati. ah tuan pasti tidak menyangka saya keranjingan menghitungnya. Karena tuan, tiap hitungannya saya pun menujukan pada sistem yang sedang bekerja pada otak saya. Misalnya hitungan sebelum pertama saya memutuskan untuk segera memutuskan kemudian pada hitungan sebelum kedua saya memutuskan untuk menunda mengambil keputusan, begitu seterusnya sampai hitungan setelah seribu. Sampai mata tuan tidak lagi merasa silau.
Tuan, tahukah apa yang di eja otak saya setelah hitungan keseribu?
S e l a m a t T i d u r.
ada anak kecil yang sedang merakit tangga kayu
tangannya mengepal palu, jemarinya menjepit paku
berbunyi tuk tuk ,pelan bersahutan
ada anak kecil yang masih memalu
menambah kayu , menambah paku
hitungan detik berjutaan
hitungan hari beratusan
ada orang tua bersungut-sungut
'berhentilah, kamu menganggu tidurku'
ada orang tua berderai derai
'tidak ada gunanya nak'
ada anak kecil yang tidak mau tahu
hitungan detik bermilyaran
hitungan hari berribuan
ada tangga kayu yang mengintip dari bumi
menyembul pada sela awan yang lembut
menjulang sampai ke langit
ada anak kecil yang berhenti memalu
ada anak kecil yang menaiki tangga kayu
ada anak kecil yang sampai ke langit
ada orang tua yang sedang malu.
siapa suruh kamu membaca buku panduan yang salah
siapa suruh kamu percaya dengan dasar mayoritas
mayoritas bermakna kebanyakan bukan kebenaran
kini kamu telah menjadi orang kebanyakan
yang tidak juga menjadikanmu orang yang benar
lalu akalmu kelimpungan menentukan benar salah
sementara keinginan tahu menjadikanmu gelagapan
masih ada lemari untukmu bersembunyi
masih ada sepatu untukmu berlari
mungkin saja jawabannya ada pada sisian jalan yang kamu lalui
atau pada getir yang kamu salah tafsirkan melulu
keingintahuan membelesak tak karuan
kalender mana yang menunjukan tanggal baik untuk menyerah?
apakah legi apakah pahing apakah kliwon?
ataukah landep ataukah wukir ataukah galungan?
mungkinkah sapar mungkinkah rejeb mungkinkah sela?
orang pintar mana yang tahu, kapan baiknya harus menyerah?
ada dimana titik ku?
Kadang ada kabar gembira yang membuat sedih, ada hiruk pikuk yang membuat sepi
kamu masih membenarkan tali sepatu sementara yang lain telah berlari
apakah kompasmu masih berfungsi saat arahmu berlawanan?
atau kompas mereka yang tidak lagi benar?
pagi tadi ada kabar gembira yang meletakan sendu
mungkin kamu hanya lupa dimana menaruh tawa
atau mungkin sedang mereka pinjam untuk gempita yang tidak bisa kamu rasakan
sampai habis
kamu berakhir pada kemungkinan kemungkinan
lalu menyerah pada ketidakmungkinan.
Dari anak tangga yang pertama, aku bisa melihatmu gelagapan mencari-cari alat makan, lalu kamu tarik kursi pertama yang biasa disenderkan pada dinding, kali ini kamu biarkan menggantung, dan punggungmu menjadi canggung. Di hadapanmu ada meja kosong dan di kepalamu ada sampah yang mulai busuk. Aromanya dapat kucium bahkan dari anak tangga yang pertama.
Dari anak tangga yang kedua. Segelas gemetar ditanganmu yang tremor. (Mungkinkah hatimu bisa juga lelah padahal sudah mati dari dulu?). Airnya masuk ke dalam saku kemejamu, merembes ke dalam jiwamu yang berlubang sementara kerongkonganmu tetap kering. Kalau kamu salahkan gelasnya artinya kamu bersungguh-sungguh ingin membuatku tertawa, bahkan dari anak tangga yang kedua.
Ada gerimis di luar yang tersangkut pada helaian rambutmu.
kegemaranmu menari ketika bermain hujan itu yang membuatku malas memandang yang lain, katamu kamu sedang berkomunikasi dengan air dari langit itu, kadang imajinasimu kelewat tinggi hingga tak terjangkau logikaku. Tapi melihat gigi kelinci itu tampak tiap kali kamu tersenyum lebar, kusampaikan terima kasih banyak pada imajinasi-imajinasimu itu.
Lalu rambut ikal sebahumu itu basah tak karuan, kamu yang memang lebih suka menyisir dengan jemari ketimbang sisir betulan, suka kesal sendiri kalau ada rambut yang terikat satu sama lain saking kusutnya, lalu dahimu mengerut, bibirmu cemberut. aku bahkan bisa terpingkal-pingkal dibuatmu yang sedang begitu.
Kalau aku sedang tertawa tanpa sadar begitu, dengan sigap kamu melempar sumpit rambut yang kamu sangkutkan pada telingamu, dan selalu saja pas mengenai dahiku. Maka bergantianlah kamu yang tertawa. Yang selalu membuatku heran adalah, mata bulatmu yang menyipit saat tertawa, bagaimana bisa mata sebesar itu menjadi segaris saat kamu tertawa?. Matamu yang suka melotot tiap kali aku iseng meledek warna kulitmu.
Tanganmu: Batu!
Nasib : Kertas!
Nasib membungkusmu kelewat rapat sampai jantungmu kesulitan memompa.
Tanganmu:Gunting!
Nasib : Batu!
Kamu mencoba melawan, guntingmu patah duluan.
Tanganmu: Kertas!
Nasib : Gunting!
Nasib menghabisimu sampai serpihan, kamu tak berkutik sendirian.
Tanganmu: Batu!
Nasib : Gunting!
kamu pukuli nasib habis habisan, remuk sebagian, remuk keseluruhan.
Tanganmu: Kertas!
Nasib : Batu!
Kamu uleni nasib macam adonan, tidak menyatu nyatu minta dibuang.
Tanganmu: Gunting!
Nasib : Kertas!
Habislah sudah kamu cacah tanpa kasihan.
Tanganmu : Batu/Gunting/Kertas!
Nasib : Batu/Gunting/Kertas!
pada akhirnya, pada dasarnya, pada kenyataanya
kalian berkawan-kawan juga.
Nasib telah digariskan pada telapak tanganmu
selain saling menerima, kalian bisa apa?
'akur-akurlah!', kata mereka yang telah dulu cari ribut dengan nasib.
bagaimana bisa ada yang memuja luka sedemikian rupa..
Opor ayam dan ketupat adalah santapan lumrah kala lebaran tiba, tapi bahkan untuk memintanya lidahnya mendadak kelu. Kelu karena sudah Ia duga jawabannya. Bukan perihal ketiadaan uang untuk sekedar membeli ayam berapa potong atau beras yang dibungkus daun kelapa sedemikian rupa.
Bahkan pemujaan luka tidak dihentikan sejenak oleh momen lebaran kali ini.
bagaimana bisa ada yang setega itu merajuti hina pada hatinya sendiri
Setelah Ia tinggikan intonasi , ia nanarkan tatapan ke satu mata yang paling lemah, yang ia tahu tidak punya daya yang tersisa. Itulah wujud nista yang membungkus dosa dengan nada nada tinggi penuh emosi. Mungkin pahamnya adalah marah dulu sebelum dimarahi. Salahi dulu sebelum disalahi. Maka pada mata yang basah itu Ia hunus luka sampai ke dalam dalam.
Adalah mati rasa, tingkat tertinggi dari sakit hati.
Maka setelah sekian lama pengecut itu mati, Ia lahirkan kembali. Ia ikut menatap yang tidak berani membalas, Ia ikut berteriak sampai urat lehernya terlihat. Tidak takut barang sedikitpun. Kata Anjing ia gumamkan dalam hati, hanya karena ada norma yang menahannya. Telah bertahun-tahun ia berpura pura, selama itu ia biarkan bidadarinya memuja luka.
Padahal bulan suci kesukaan Tuhan
Ia telan ludah berkali kali,rasanya seperti obat yang telah habis masa pakainya. Bahkan detak jantungnya kentara seperti melompat lompat saking kencangnya. Ketika barisan kata-kata itu terefleksi melalui kacamata plusnya, Ia menarik diri, masih ada ratusan luka yang harus ia nikmati nyatanya.
Mungkin inilah perpisahan terindah yang aku tahu.
mungkin suatu waktu aku memanggilmu karena ada perlu
mungkin suatu waktu kamu menghubungiku karena malu
mungkin suatu waktu kamu tergelatak di pinggir jalan dan aku tidak lagi mau tahu.
padahal esok hari raya idul fitri.
kalaupun aku pergi nanti
tidak ada yang ditinggalkan dari cerita ini
karena aku bersembunyi di daftar isi
pada bagian titik titik yang tidak kamu perhatikan
pastilah tidak kamu ketahui berapa jumlahku
kalaupun aku berpindah satu halaman
adalah pada lembar ucapan terima kasih
tersimpan pada kata 'dan lain-lain'
pastilah tidak kamu ketahui namaku
lalu aku melompat ke bagian prolog
tempatku di masa lalu
hanya dilihat mereka yang tidak tahu cara maju
pastilah tidak kamu ingat ceritaku
lalu aku berlarian ke kisah utama
kadang ku disudut bawah atau atas
kamu lihat sambil lalu
tapi kamu pakai pembatas buku,
tak perlulah kamu tahu,
aku yang sedang menjadi nomor halaman.
aku terjun bebas ke epilog
tapi kepalang kamu tutup bukuku
padahal telah kupaksa penulisnya
menuliskan 'bahagia selama-lamanya kamu dan aku
macam dogeng yang pandai menipu
disana telah kamu ambil buku baru.
ini hal yang paling konyol yang pernah saya tulis, beberapa waktu lalu seseorang yang saya kagumi 'terlihat' bermain harmonika, tanpa pikir panjang saya beli harmonika abal-abal dan berniat belajar agar bisa juga. setelah mencari tutorial seharian, saya mulai 'gerah' , akhirnya saya iseng mengirim email pada orang tsbt menanyakan tutorial yang mudah untuk pemula. Hanya selang beberapa menit email saya dibalas, whoaa! tapi saya langsung tertawa saat membacanya, lebih karena malu.
kira-kira begini balasannya :
" hai ulfa, saya tidak bermain harmonika, ini mainan anak-anak, Kazoo ;)"
:)))
note :padahal antara Kazoo dan harmonika bentuknya jauh berbeda, well, salahkan kualitas video yang saya download yang membuatnya terlihat mirip *tetep*.
*nasib harmonika ecek-ecek yang kini terbengkalai*
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)